SuaraLampung.id - Pratu Sahdi, anggota Batalyon Infanteri Raider 303/Setia Sampai Mati, tewas dikeroyok gerombolan preman di kawasan Taman Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (16/1/2022).
Kasus anggota TNI tewas dikeroyok kelompok preman juga pernah terjadi di Yogyakarta. Bahkan kasus ini sampai berujung tindakan balas dendam yang dilakukan sekelompok prajurit TNI.
Peristiwa ini terjadi pada Maret 2013. Ketika itu terjadi keributan di Kafe Hugo Yogyakarta. Keributan melibatkan satu anggota Kopassus Serka Heru Santoso dan gerombolan preman.
Serka Heru Santoso tewas dikeroyok gerombolan preman. Kedatangan Serka Heru Santoso ke Hugo Kafe dalam rangka tugas. Pada saat itu, Presiden SBY direncanakan datang ke Yogya pada 23 Maret 2013.
Sebagai intel, Serka Heru datang ke Hugo Kafe melakukan screening karena lokasinya yang bersebelahan dengan hotel tempat Presiden akan menginap.
Saat berada di kafe, Serka Heru bersenggolan dengan salah satu preman. Terjadilah percekcokan. Gerombolan preman memukuli Serka Heru. Serka Heru sempat menyatakan bahwa dirinya adalah anggota Kopassus.
Namun itu tidak dihiraukan oleh para preman kelompok Diki. Seorang preman menusukkan belati ke bagian dada Serka Heru. Dalam keadaan sudah tak berdaya, Serka Heru masih diinjak-injak para preman.
Serka Heru meninggal dunia. Sehari setelahnya, giliran mantan anggota Kopassus Serka Sriyono yang dianiaya Diki cs. Empat pelaku pembunuhan anggota Kopassus ini berhasil ditangkap aparat kepolisian. Mereka lalu dititipkan ke Lapas Cebongan.
Rentetan peristiwa ini membuat prajurit Kopassus marah. Mereka tak terima rekan satu korps dianiaya para preman. Lalu Serda Ucok Tigor mengajak Serda Sugeng dan Koptu Kodik untuk mencari para pelaku.
Baca Juga:Pelaku Penusukan Anggota TNI AD Ditangkap, Ini Motifnya Menurut Polisi
Tahu pelakunya ada di Lapas Cebongan, Serda Ucok mengajak rekan-rekannya untuk menyambangi pelaku di Lapas. Berangkatlah 12 prajurit Kopassus ke Lapas Cebongan. Dan terjadilah peristiwa berdarah itu.
Serda Ucok ialah orang yang mengeksekusi keempat preman di dalam Lapas. Kedua belas prajurit Kopassus itu langsung ditahan oleh polisi milter. Penyerangan lapas Cebongan ini malah mendapat dukungan dari masyakarat.
Masyarakat sudah jengah dengan perilaku preman di Kota Yogyakarta yang makin merajalela. Karena itu begitu tahu empat preman tewas di tangan Kopassus, masyarakat senang.
Mereka bersimpati kepada para prajurit Kopassus yang telah berani mengambil tindakan tegas terhadap para preman. Bertebaran spanduk dukungan ke Kopassus yang memberantas premanisme di Kota Yogyakarta.
Dituduh Korbankan Anggota
Sementara itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu Jenderal Pramono Edhie Wibowo merasa gusar, sedih dan geram.
Dikutip dari buku "Pramono Edhie Wibowo dan cetak biru Indonesia ke depan" Pramono Edhie marah karena perbuatan prajurit Kopassus itu sudah melanggar hukum dan mencoreng nama baik kesatuan.
Di sisi lain Pramono Edhie sedih karena para pelakunya adalah para prajurit Kopassus, korps kebanggaannya selama ini.
Pramono Edhie adalah seorang jenderal yang berlatar belakang Kopassus. Adik ipar SBY ini memulai karier militernya dari Kopassus.
Ia juga dibesarkan dari seorang ayah yang pernah menjadi Komandan Korps Baret Merah. Sarwo Edhie Wibowo, ayah Edhie, adalah komandan Kopassus yang terkenal sebagai pemberantas PKI.
Namun Edhie punya prinsip. Ia tak mau melindungi siapapun yang melakukan kesalahan. Baginya setiap orang yang melakukan kesalahan harus mendapat hukuman dari kesalahannya itu.
Pramono Edhie membuka penyidikan kasus ini ke publik. Bahkan proses persidangan terhadap 12 anggota Kopassus itu juga berlangsung terbuka. Semua media bisa meliputnya.
Hakim menjatuhkan hukuman berbeda terhadap 12 prajurit Kopassus tersebut. Serda Ucok dihukum 11 tahun penjara, Serda Sugen 8 tahun penjara, dan Koptu Kodik 6 tahun penjara.
Mereka bertiga juga dijatuhi hukuman dipecat dari dinas militer. Sementara Serda Ikhmawan yang membawa mobil mengangkut para prajurit Kopassus ke Lapas Cebongan, dihukum satu tahun tiga bulan penjara.
Lima orang lain dihukum satu tahun 9 bulan penjara. Dan tiga anggota lainnya dihukum 4 bulan 20 hari penjara. Keputusan Pramono Edhie membuka kasus ini menimbulkan pro kontra di internal.
Gara-gara ini, Pramono Edhie sampai dituding mengorbankan anak buah demi popularitas. Suara sumbang juga terdengar bahwa Edhie tidak mau melindungi anggotanya.
Tuduhan-tuduhan ini menyakitkan hati Pramono Edhie. Pramono Edhie merasa tidak mendapatkan popularitas apapun dari kasus ini. Bagi Edhie, mereka yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ia siap menerima segala konsekuensi dari keputusannya itu walau harus dicibir. Edhie rela tidak populer asalkan kebenaran dapat ditegakkan.