SuaraLampung.id - Menanamkan kepedulian cinta lingkungan ke masyarakat tidak mudah. Seperti yang dialami Syamsudin, warga Desa Muliyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur. Ia sampai terlibat baku hantam dengan sekelompok warga saat menanam mangrove.
Fajar menyingsing, Syamsudin bergegas menuju perahu yang sandar di sungai. Tahun 2009 saat itu. Bersama 7 rekannya yang tergabung dalam kelompok Tunas Rimba, Syamsudin mengangkut ribuan bibit mangrove dan ratusan bambu ke atas perahu kayu.
Dayung dikayuh. Tujuannya tambak udang di dekat bibir pantai Desa Mulyosari, Kecamatan Pasirsakti, Lampung Timur. Setelah 3 kilometer perahu membelah sungai, jangkar ditambat.
Syamsudin dan tujuh rekannya turun dari perahu. Mereka melanjutkan pekerjaan hari sebelumnya. Menanam mangrove di areal tambak udang.
Baca Juga:Cegah Abrasi di Kepulauan Seribu, Masyarakat Diimbau Perbanyak Tanam Bibit Mangrove
Lahan seluas 400 hektare di bibir pantai itu sebenarnya adalah milik pemerintah yang berstatus wilayah konservasi. Pemerintah sudah memasang tapal batas sejak tahun 2000. Namun warga tetap saja memanfaatkannya sebagai tambak udang windu. Karena abrasi, tambak rusak. Warga tak lagi menggunakannya.
"Tambak udang itu sudah tidak terurus karena terkikis abrasi," kenang Syamsudin.
Khawatir abrasi makin meluas, Syamsudin berinisiatif menanam mangrove. Diajaklah tujuh temannya menanam mangrove di area tambak yang terbengkalai itu.
Sudah 50 hektare lahan yang berhasil ditanam mangrove oleh Syamsudin dan kawan-kawan. Ketika matahari mulai menyengat di kulit, tiba-tiba datang sekelompok orang. Jumlahnya 20 orang lebih.
Mereka mendatangi Syamsudin cs yang sedang menanam mangrove. "Berhenti," teriak salah satu orang dari kelompok warga. Kelompok warga meminta Syamsudin dan teman-teman menghentikan aktivitasnya.
Baca Juga:Jelang KTT G-20 di Bali, Dubes Inggris Dan Timor Leste Datangi Hutan Mangrove Ngurah Rai
Mereka tak terima tambak udangnya ditanami mangrove. Syamsudin tak acuh. Baginya mangrove harus tetap ditancapkan di lumpur agar abrasi tak meluas. Apalagi lahan itu adalah milik pemerintah. Kelompok warga itu tak punya hak menghentikan aktivitasnya.
Cekcok mulut terjadi. Kedua kubu sama-sama berkeras. Perang lumpur terjadi. Situasi yang makin panas itu berujung pada baku hantam. "Tidak menimbulkan korban jiwa hanya luka luka lebam saja, peristiwa itu terjadi 2009 silam,'" kata Syamsudin.
Dampak dari konflik, Kelompok Tunas Rimba bubar. Syamsudin tak patah arang. Sendiri ia menanam mangrove. Sadar tak bisa kerja sendiri, Syamsudin mulai mendekat warga yang sempat baku hantam dengan dirinya.
Lewat pendekatan persuasif, Syamsudin mengajak musuh-musuhnya itu ngobrol dan menanamkan kesadaran pentingnya keberadaan mangrove bagi masyarakat pesisir.
Upayanya berhasil. Berkat kesabaran dan semangat tak pernah padam, orang-orang yang awalnya menentang penanaman mangrove berubah sikap. Mereka setuju ada penanaman mangrove di pesisir pantai.
"Saat ini sekelompok orang yang dulu menyerang dan menolak untuk mengembangkan mangrove justru masuk dalam kelompok KTH Mutiara hijau 1," ujar Syamsudin yang merupakan Ketua Kelompok KTH Mutiara Hijau 1 ini.
Sekarang tambak yang tadinya terkena abrasi dan tidak terurus kembali dimanfaatkan warga bersamaan dengan penghijauan mangrove.
Merintis Penanaman Mangrove Sejak 2005
Syamsudin mulai merintis menanam mangrove di bibir pantai Desa Mulyosari, Kecamatan Pasirsakti, Lampung Timur, pada tahun 2005. Sebelum tahun 2005, Syamsudin merantau ke Palembang, Sumatera Selatan. Di sana ia bekerja sebagai nelayan.
Namun daerah tempat ia mencari nafkah dilanda abrasi besar-besaran. Hal ini membuat Syamsudin pulang kembali ke Lampung Timur pada tahun 2005.
Tiba di Desa Muliyosari, Syamsudin merasa prihatin melihat kondisi pantai yang gersang dan hanya ditumbuhi tanaman liat yang tidak terurus.
Dari situlah timbul niatan dirinya menanam mangrove. Syamsudin mengajak dua orang saudaranya untuk membantu menanam mangrove di pesisir pantai Desa Muliyosari.
Dalam kurun waktu dua tahun, 2005 - 2007 Syamsudin dan dua saudaranya berhasil menanam mangrove seluas 2 kilometer secara swadaya.
"Mangrove kan manfaatnya banyak menjaga ekosistem lingkungan dan tentu menjadi kemanan secara alami dari bencana alam yakni memecah ombak dan memecah angin, " kata Syamsudin.
Kini penggiat mangrove di Desa Muliyosari sudah mencapai 40 orang. Dampak mangrove yang sudah rimbun mulai dinikmati warga. Ketika puting beliung terjadi, tidak ada lagi rumah warga yang rusak. Ini karena mangrove memecah angin puting beliung.
Di Desa Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, ada juga sosok penggiat mangrove. Dia adalah Sumari. Pria berusia 42 tahun itu menanam mangrove di pesisir secara sukarela.
Tujuan Sumari menanam mangrove untuk menjaga pantai dari abrasi dan terpaan angin laut. Saat ini kehadiran hutan mangrove di Desa Sukorahayu menciptakan lapangan pekerjaan untuk sejumlah warganya.
"Ya awalnya hanya ingin menjaga pantai dan mengantisipasi terpaan angin besar yang bisa menerjang pemukiman," kata Sumari.
Sumari mengaku mulai menekuni sebagai pembibit mangrove pada 2018. Awalnya bibit mangrove ia tanam sendiri di pesisir Desa Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai.
"Saat ini justru mangrove pembibitan saya banyak diminati dan terjual hingga Bengkulu. Dari penjualan bibit saya bisa menciptakan lapangan kerja. Warga sekitar saya upah harian dengan tugas memasukan bibit mangrove pada media tanam," ungkapnya.
Sekertaris BPBD Lampung Timur Titin Wahyuni mengakui bahwa Lampung Timur adalah kabupaten paling rawan bencana di Lampung.
Lampung Timur menempati urutan keempat sebagai kabupaten/kota paling rawan bencana di Lampung. Bencana alam yang paling sering terjadi di Lampung Timur yaitu puting beliung.
Selama 2021, terjadi 7 kali puting beliung di Lampung Timur. Yaitu di Kecamatan Pasir Sakti, Sukadana, Way Jepara, dan Labuhan Maringgai.
"Hampir setiap tahun Lampung Timur selalu diterpa angin puting beliung, namun tidak sampai menimbulkan korban jiwa hanya kerugian materil saja," kata Titin Wahyuni.
Kontributor: Agus Susanto