SuaraLampung.id - Jatunya Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dari jabatan Kapolri di tahun 1959 dinilai tak lepas dari peran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Komunis ditengarai melakukan infiltrasi ke tubuh Polri saat itu hingga melakukan manuver menjatuhkan Soekanto sebagai Kapolri.
Soekanto ditumbangkan sebagai Kapolri pertama karena dianggap sebagai tokoh anti komunis.
Menurut Komjen (Purn) Moehammad Jasin dalam bukunya "Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang", PKI menganggap Polri sebagai kubu penentang yang harus diperhitungkan eksistensinya.
Baca Juga:Kisah Pemuda Bernama Nyoman Gedur yang Tewas Dibunuh PKI
"Maka mekanisme politik subversif PKI bergerak menggarap kepolisian negara supaya bersih dari mereka yang anti-PKI dan anti terhadap garis-garis perjuangan politiknya," tulis M Jasin.
Ajukan Mosi Tidak Percaya
Pergerakan komunis di tubuh Polri dimulai ketika menguasai organisasi Persatuan Pegawai Polisi (PPP). AKBP Sutarto, Kepala Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) Komisariat Jawa Tengah, menjadi Ketua Umum PPP.
Di masa sekarang DPKN adalah satuan intelijen Polri. Kata Jasin, Sutarto adalah simpatisan PKI. Sutarto ingin menyingkirkan pejabat Polri yang anti komunis. Salah satunya ialah Menteri Muda Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara Soekanto.
Dahulu jabatan Kapolri disebut Menteri Muda Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara. Sutarto mulai melancarkan aksinya ketika acara Konferensi Dinas Kepolisian pada Oktober 1959.
Baca Juga:Baru 5 Jenazah Napi Lapas Tangerang Bisa Teridentifikasi, RS Polri Ungkap Kendalanya
Konferensi itu dihadiri para Kepala Komisariat Kepolisian atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Kapolda se Indonesia. Saat acara konferensi berlangsung, Sutarto atas nama PPP mengajukan mosi tidak percaya terhadap RS Soekanto sebagai Kapolri.
M Jasin, Panglima Korps Mobrig, yang ikut konferensi, menolak mosi Sutarto. Sikap M Jasin ini diikuti para kapolda. Gagallah upaya Sutarto menjatuhkan RS Soekanto sebagai Kapolri.
Konferensi itu sendiri menghasilkan Manifes Kepolisian. Manifes Kepolisian bertujuan agar kepolisian secara sadar kembali kepada jiwa UUD 45.
Untuk melaksanakan Manifes Kepolisian, dibentuklah tim 10 yang isinya para perwira perwakilan dari beberapa Polda. Salah satu yang masuk dalam tim 10 adalah Sutarto.
Lalu Soekanto dan tim 10 sepakat membentuk satu staf pimpinan yang memenuhi syarat revolusi. Staf itu terdiri dari Wakapolri, Pembantu Utama I Bidang Operasi dan Pembantu Utama II Bidang Administrasi.
Tim 10 mengusulkan Kombes Jen Mohammad, Kombes Soelaiman Effendi dan Kombes Soekarno Djojonegoro sebagai staf pimpinan.
Namun Kapolri RS Soekanto tidak menyetujui tiga nama usulan tim 10. Setelah melakukan semedi, Soekanto menunjuk Kombes Soekarno Djojonegoro sebagai Wakapolri, Kombes M Jasin sebagai Pembantu Utama I Bidang Operasi dan Kompol Soetjipto Danoekoesoemo sebagai Pembantu Utama II Bidang Administrasi.
Soekarno Djojonegoro adalah keponakan Sutarto. Namun Soekanto menyetujui Soekarno menjadi wakilnya karena menurutnya Soekarno bukan seorang komunis.
Soekarno Djojonegoro sendiri sebenarnya keberatan diusulkan menjadi Wakapolri karena ia didukung kelomok beraliran kiri untuk menggantikan Soekanto sebagai Kapolri.
Karena itu Soekano Djojonegoro tidak pernah menjalankan tugasnya sebagai Wakapolri. Ia bersembunyi di Jawa Tengah dan tak pernah sekali pun muncul di Jakarta.
"Kemungkinan besar ia (Soekarno Djojonegoro) takut dicurigai oleh teman-temannya sebagai kader PKI atau malu bertemu RS Soekanto," kata M Jasin.
Menghadap Jenderal AH Nasution
Keputusan Soekanto mengangkat tiga nama ditentang tim 10. Tiba-tiba saja ada sebuah surat pernyataan dari Polda Metro Jaya masuk ke Kapolri Soekanto.
Surat itu ditandatangani semua kabag, kasi, kapolsek tapi tidak ada tanda tangan Kapolda Metro Jaya. Isi surat itu ialah mendesak agar keputusan tim 10 segera dilaksanakan.
Jika tidak dilaksanakan, maka masalah ini akan dilaporkan ke Presiden Soekarno. Kapolri Soekanto tidak menggubris surat itu.
Upaya menggulingkan Soekanto sebagai Kapolri tidak berhenti. Kali ini ada tujuh perwira Polri menghadap Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution.
Tujuh orang itu ialah Enoch Danoebrata, Soemeru, Sutarto, Suparto, Sukahar, Soetjipto Danukusumo dan Purwata.
Kepada Nasution, para perwira ini meminta Soekanto diganti. Mendapat laporan dari para perwira ini, Nasution langsung menelepon Soekanto.
Nasution menyampaikan ada tujuh perwira Polri menghadapnya meminta Soekanto dicopot sebagai Kapolri. Nasution sendiri menyarankan agar masalah ini diselesaikan secara internal di kepolisian.
Menemui Presiden Soekarno
Selalu menemui jalan buntu, akhirnya para perwira ini memutuskan menghadap langsung Presiden Soekarno. Kapolda Jawa Barat Enoch, yang ikut dalam delegasi menghadapi Bung Karno, mengaku diperdaya Sutarto.
Enoch termasuk salah satu tokoh yang dekat dengan Soekanto. Ia menolak ikut. Namun ia dibohongi. Dikatakan padanya bahwa Presiden Soekarno lah yang memintanya datang membawa surat pernyataan ke Istana. Dengan berat hati, Enoch ikut menghadap Presiden Soekarno.
Dikutip dari buku "Sosok Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo Melalui Spiritual Membangun Polisi yang Profesional" Soetjipto Danukusumo menjelaskan ketidakpuasan generasi muda Polri terhadap kepemimpinan Soekanto di hadapan Presiden Soekarno.
Mereka kecewa dengan sikap Polri ketika meletusnya pemberontakan PRRI. Polri dinilai tidak sepenuh hati ikut dalam pemberantasan PRRI di Sumatera.
Sukahar, salah satu perwakilan delegasi, juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap Soekanto. Di tahun 1950, Sukahar pernah meminta Soekanto untuk membebaskan pejuang polisi bernama Pohan yang ditahan Belanda.
Namun Soekanto tidak memenuhi permintaan Sukahar. Akibatnya Pohan menyeberang ke PRRI. Soekanto juga dinilai kurang menyatu dengan rakyat ini karena Soekanto tidak pernah ikut perjuangan bersenjata.
Soekanto dinilai cenderung membangun polisi profesional daripada menghayati polisi pejuang. Selain itu, Sukahar juga menduga Soekanto adalah simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sukahar juga tidak suka karena Soekanto terlalu dipengaruhi falsafah kebatinan yang ia anut.
Soekanto yang mengetahui ada tujuh perwira menghadap Presiden Soekarno, sangat marah. Kemarahannya bukan karena isi tuntutan dari tim tujuh.
Ia tidak suka pengiriman delegasi menghadap Bung Karno tanpa sepengetahuan dirinya. Segera Soekanto memanggil ketujuh orang itu. Namun tidak ada yang datang.
Presiden Soekarno merasa Soekanto tidak mendukungnya ketika mendengungkan konsep Nasakom. Soekanto memang tidak mendukung konsep Nasakom karena anti Komunis. Hal lain adalah Lena istri Soekanto ikut aktif berdemonstrasi menentang poligami Presiden Soekarno.
Bung Karno memanggil Soekanto. Datanglah Soekanto ditemani Panglima Korps Mobrig M Jasin dan Soebroto Brotodiredjo. Pada pertemuan itu, Soekarno menjelaskan mengenai pertemuan dirinya dengan tujuh perwira Polri.
Lalu Soekarno meminta Soekanto tidak mengambil tindakan terhadap tujuh perwira itu. Soekanto menolak permintaan Soekarno karena baginya tujuh perwira itu telah melakukan tindakan indisipliner.
Sepulang dari pertemuan dengan Bung Karno, Soekanto menjatuhkan sanksi skorsing terhadap tujuh perwira itu. Presiden Soekarno menganggap tindakan Soekanto telah melanggar perintahnya sebagai Presiden Panglima Tertinggi.
Maka Presiden Soekarno memutuskan memecat Soekanto sebagai Kapolri pada 15 Desember 1959. Presiden menunjuk Soekarno Djojonegoro sebagai Kapolri baru.
Belakangan Sukahar baru menyadari bahwa ada di antara tujuh perwira yang menghadap Presiden Soekarno disusupi PKI.
Soekanto sendiri mensinyalir ada ulah komunis melalui oknum kepolisian yang mendalangi kejatuhan dirinya sebagai Kapolri.
"Pak Kanto berkeyakinan bahwa ad di antara tujuh perwira tersebut telah digarap komunis untuk menggerogoti kepolisian dari dalam dan kemudian hari terbukti, salah seorang dari mereka terlibat dalam peristiwa G30S/PKI," tulis Mayjen (Purn) Hadiman dalam buku "Sosok Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo Melalui Spiritual Membangun Polisi yang Profesional".