SuaraLampung.id - Tepat 16 Februari 1981, diadakan upacara kecil di aula Markas Kodam Jaya. Hari itu untuk pertama kalinya Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra menghirup udara bebas setelah 15 tahun meringkuk di balik jeruji besi.
Jenderal Pranoto tidak sendiri. Ia bersama dua rekannya sesama prajurit TNI yaitu Mayor Jenderal Rukman dan Brigadir Jenderal Suharyo dibebaskan oleh pemerintah.
Surat pembebasan Jenderal Pranoto, Jenderal Rukman dan Jenderal Suharyo ditandatangani Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Sudomo.
Dari Markas Kodam Jaya, Jenderal Pranoto berjalan kaki menuju rumahnya di Kampung Kramatjati, Gang Dato Tonggara I, Jakarta Timur.
Baca Juga:Album Checkmate ITZY Susul Catatan Manis BLACKPINK dan aespa
TNI sebenarnya menawarkan sebuah mobil sebagai kendaraan sang jenderal pulang. Namun fasilitas itu ia tolak.
"Itu memang nazarku jauh pada masa aku masih berada dalam tahanan," kata Jenderal Pranoto dikutip dari Buku "Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra Dari RTM Boedi Oetomo Sampai Nirbaya".
Ditemani Handrio Utomo, putra keempatnya, Jenderal Pranoto menyusuri gang sempit menuju kediamannya.
Sejak menghirup udara bebas, ada satu hal yang menggelisahkan batin Jenderal Pranoto. Yaitu mengenai statusnya sebagai prajurit TNI AD.
Pranoto menunggu apakah dirinya secara administratif akan diaktifkan kembali atau akan dipensiunkan atau dipecat. Sayangnya hingga akhir hayat sang jenderal, tak pernah ada kejelasan mengenai statusnya.
Baca Juga:Istri Kapolri Jenderal Listyo Sigit Dijadwalkan Hadiri Peluncuran Program 'Aku Sedulurmu'
“Kalau begini kenyataannya, maka bukankah pengalaman pengabdianku di Angkatan Darat semenjak tahun 1945 itu, tak salah kalau aku katakan sebagai impian indah yang belalu bagiku? Rasanya masih segar dalam ingatan dan kenanganku kalau aku merasa ikut serta sebagai pemanggul batu untuk candi kemerdekaan Indonesia."
“Justru aku ikut serta pula membeli dengan darah, keringat, dan air mata yang tiada kunjung hentinya dibesarkan dalam tugas-tugas yang harus menentang maut selama masa itu,” tulis Pranoto.
Pejuang Kemerdekaan
Jenderal Pranoto adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Bagelen, Purworejo, 16 April 1923 ini ikut dalam perang di masa revolusi.
Jenderal Pranoto angkat senjata melawan penjajah Jepang dan Belanda. Dia juga ikut dalam salah satu pertempuran paling dikenal yaitu Palagan Ambarawa dan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pengabdian Jenderal Pranoto sebagai prajurit TNI masih berlanjut di masa pemberontakan. Ia ikut dalam memadamkan pemberontakan PRRI di Sumatera.
Dituduh Terlibat G30S
Tahun 1965 terjadi sebuah peristiwa besar yang menggegerkan tanah air. Pecah Gerakan 30 September 1965. Enam jenderal dan satu perwira pertama diculik dan dibunuh di dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya.
TNI AD menuding dalang gerakan itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan Jenderal Pranoto dituding terlibat dalam gerakan tersebut. Beberapa jenderal menyatakan bahwa Jenderal Pranoto beraliran kiri dan mendukung PKI.
Pranoto disebut berada di Halim bersama DN Aidit di malam G30S. Pranoto juga difitnah mengadakan rapat besar di Kebumen, Kutoarjo, dan Purworejo pada 10 November 1965. Pada rapat itu, Pranoto dibilang membagi-bagikan senjata ke PKI.
Penangkapan Pranoto Berlangsung Dramatis
Akhirnya keluarlah surat penahanan terhadap Pranoto yang ditandatangani Soeharto pada 16 Februari 1966.
Datang pleton Korps Polisi Militer ke rumah Pranoto. Para pengawal Pranoto langsung melakukan penjagaan di sekitar rumah.
Para pengawal Pranoto sudah siap tembak menembak jika peleton Korps Polisi Militer masuk halaman rumah. Pranoto keluar rumah memerintahkan komandan regu pengawalnya menarik mundur anak buahnya.
“Jangan ada sebutir peluru pun meletus,” perintah Pranoto.
Pranoto lalu memanggil komandan Korps Polisi Militer yang datang ke rumahnya. Pranoto sangat marah saat mendengar perintah penahanan terhadap dirinya.
Ia merasa diperlakukan sangat hina oleh penguasa saat itu.
“Aku akan tetap bertahan di rumahku, andaikata kalian memperlakukan aku dengan sehina itu. Aku bukan babi hutan atau harimau liar yang masuk kota.
“Bubarkan peletonmu itu dan aku akan berangkat tepat di tempat mana dan di saat kapan sesuai surat perintah Men Pangad ini dengan tanpa kalian kawal, barang seorang pun!
“Akupun rela untuk kalian habisi nyawaku, seandainya kalian masih pula berkeras kepala beramai-ramai memborgolku dan menyeret aku ke penjara!” kata Pranoto dengan nada tinggi.
Komandan Peleton Korps Polisi Milter itu tertunduk dan mematuhi perintah Pranoto. Mereka membubarkan diri.
Pranoto lalu pamit kepada keluarganya berangkat ke tempat penahanannya di satu rumah di Kompleks Perumahan Korps Polisi Militer.
Di tempat itu, Pranoto melihat tahanan lain seperti Laksamana Sri Mulyono Herlambang dan Bung Tomo, tokoh 10 November 1945.
Selama di penahanan, Pranoto diinterogasi terkait keterlibatannya dengan PKI. Pemeriksa tidak mampu membuktikan keterlibatan dirinya. Pada 7 Maret 1966, status penahanan Pranoto diubah menjadi tahanan rumah.
Dua tahun lamanya Pranoto menjalani status sebagai tahanan rumah. Ia mengira masalah ini sudah selesai. Tanpa diduga, pada 4 Maret 1969, keluar lagi surat penahanan terhadap dirinya. Kali ini Pranoto ditahan di Inrehab Nirbaya.
Pranoto pernah diinterogasi beberapa kali namun tidak pernah ada berita acara pemeriksaan. Pada 18 Desember 1979, Pranoto dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo.
Selama ditahan tahun 1970-1975, Pranoto menerima gaji skorsing sebesar Rp 7 ribu setiap bulan. Mulai tahun 1975 Pranoto tidak lagi menerima gaji sepeserpun.
Sejarawan Asvi Warman Adam meminta pemerintah merehabilitasi Mayjen Pranoto Reksosamodra dan membayar kompensasi gaji yang tidak pernah dibayar selama ia ditahan.
"Nama baik Pranoto Reksosamodra perlu dipulihkan," tulis Asvi dalam pengantar Buku Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra Dari RTM Boedi Oetomo Sampai Nirbaya".