SuaraLampung.id - Karen Armstrong adalah penulis dan peneliti. Bukunya yang terkenal dan best seller berjudul Sejarah Tuhan. Di dalam buku Sejarah Tuhan, Karen Armstrong membahas mengenai asal tiga agama samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam.
Jika anda membaca buku-buku Karen Armstrong, anda akan tahu kekaguman Karen Armstrong terhadap umat Islam.
Saking kagumnya, Karen Armstrong sampai membuat satu buku khusus berjudul Muhammad. Buku ini membahas mengenai kehidupan nabi Muhammad SAW.
Sebelum bersentuhan dengan Islam, Karen Armstrong adalah seorang biarawati. Karen menceritakan mengenai kehidupannya dalam bukunya berjudul “Menerobos Kegelapan”.
Baca Juga:Tinjau Ketersediaan Kebutuhan Pokok, Ridwan Kamil: Ada Kenaikan Tapi Wajar
Karen menempuh pendidikan sebagai biarawati Katolik selama tujuh tahun. Ia masuk biara di usia remajanya 17 tahun. Sebenarnya keluarga Karen menentang keputusannya untuk menempuh hidup sebagai biarawati.
Namun Karen berkeras pada pendiriannya. Menurut dia, menjadi biarawati bukanlah pelarian. Sebab ia bisa bertahan hingga 7 tahun di sekolah tersebut.
Alasannya ketika itu ia ingin menemukan Tuhan. Karen muda sangat antusias saat akan masuk ke sekolah biarawati tersebut.
Namun bayangannya mengenai sekolah biarawati berubah ketika ia masuk ke dalamnya. Banyak hal yang membuat hati Karen Armstrong bergejolak.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari sekolah itu setelah tujuh tahun hidup bersama para biarawati.
Baca Juga:Menengok Buka Puasa Pertama Pengungsi Gempa di Malang
Persentuhan Karen dengan Islam sebenarnya tidak sengaja. Ketika itu Karen datang ke Yerusalem untuk sebuah proyek di televisi. Proyek itu membahas mengenai agama Yahudi dan Nasrani.
Berada di Yerusalem, mata Karen selalu tertarik ke arah kubah keemasan dome of rock. Ia sempat dibawa ke dalamnya oleh Ahmed, seorang muslim Arab yang menetap di Yerusalem timur.
Ahmed adalah sopir yang disewa Karen untuk berkeliling di Yerusalem. Karen melihat ada sebuah batu di atasnya. Ahmed menjelaskan kepada Karen mengenai sejarah batu tersebut.
Batu itu adalah batu tempat Nabi Muhammad SAW berpijak menuju langit ke tujuh dalam peristiwa Isra Miraj.
Batu itu juga adalah batu tempat Nabi Ibrahim akan menyembelih anaknya Ismail. Mendengar penjelasan Ahmed, Karen merasa malu karena ketidaktahuannya tentang Islam.
Karen juga mendapat aura berbeda ketika memasuki Masjidil Aqsa. Ia merasa seperti berada di rumah sendiri.
Keberadaannya di Yerusalem juga menghenyak Karen. Untuk pertama kalinya ia mendengar azan. Pengakuan Karen, ia tersentak dari tidurnya ketika mendengar azan subuh berkumandang. Keesokan harinya Karen mulai terbiasa dan tidak lagi terbangun ketika azan berkumandang.
Ada satu pengalaman yang juga membuat Karen kagum dengan orang Islam. Saat itu Karen dalam perjalanan pulang ke hotel. Ia ditemani Ahmed dan dua teman Ahmed yang asyik minum bir.
Selama dalam perjalanan, Karen mendengar alunan musik Arab yang dari radio dalam mobil. Tiba-tiba musik berhenti berganti menjadi alunan Alquran. Ahmed menjadi bersemangat. Itu membuat Karen terkesima.
Sepengetahuannya, Ahmed bukanlah seorang muslim yang taat. Namun ia tetap mendengarkan lantunan Alquran sampai nyaris menitikkan airmata.
Bahkan Ahmed sesekali memberi penjelasan kepada Karen mengenai artinya.
Melihat pemandangan ini membuat Karen tertegun. Ini sangat berbeda dengan di tempat asalnya London. Di London, orang sekuler seperti Ahmed akan mematikan radionya ketika mendengar pembacaan Al kitab.
Benak Karen berpikir entah bagaimana kitab suci ini bisa menyentuh pria keras seperti Ahmed yang telah berusia 50 tahun. Kesan ini jua yang membuat Karen makin tertarik mempelajari Islam.
Puncaknya adalah ketika terbit buku Salman Rushdie Ayat-ayat Setan. Novel ini membuat umat Islam di dunia marah karena isinya menghina Nabi Muhammad SAW.
Sampai-sampai tokoh spiritual Iran Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa hukuman bagi SAlman Rusdhie dan penerbitnya.
Reaksi seperti ini makin membuat citra Islam buruk di mata dunia. Islam dianggap sebagai agama kekerasan. Padahal, kata Karen, Islam sejatinya tidak seperti itu. Atas dasar itulah, Karen menulis buku berjudul Muhammad.
Ia ingin melawan stigma tentang Islam di dunia barat dari sudut pandang orang barat. Lama kelamaan, Karen makin kagum dengan sosok Nabi Muhammad SAW.
Baginya Nabi Muhammad SAW tampil sebagai sosok yang lebih manusia ketimbang Yesus dan Budha.
Menurut Karen, Nabi Muhammad tertawa, menggendong cucu, meratapi kematian sahabat-sahabatnya.
Biarpun mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW, Karen tidak lantas menjadi seorang Muslim. Karen tetap memilih sebagai pribadi yang mengakui Tuhan tanpa harus beragama.