Terkadang HS juga membeli sendiri pertalite dari sejumlah koleganya, kemudian mengoplosnya menjadi bahan bakar yang warnanya mirip warna premium, kemudian menjualnya.
Namun jika dilihat secara teliti tetap ada perbedaan, karena warna kuningnya sangat tajam, berbeda dengan warna kuning bahan bakar premium.
Hasil pemeriksaan terhadap HS, praktik terlarang ini ternyata dilakukan lantaran di kawasan pelosok atau jauh dari pusat kota, harga premium justru lebih mahal dibanding pertalite, padahal di SPBU harga resmi premium lebih murah dibanding pertalite.
Hal itu lantaran ada pendapat di masyarakat bahwa pertalite merusak mesin kendaraan karena cepat panas, menimbulkan kerak dan memperpendek umur mesin sehingga banyak yang memilih membeli premium, sementara alokasi premium kini terus dikurangi oleh Pertamina.
Baca Juga:Aneh, Pria Sampit Diciduk Polisi Gegara Ubah Warna BBM Pertalite Mirip Premium
"Berbekal pengetahuannya, dia memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat. Dibuktikan pangsa pasarnya banyak, khususnya masyarakat yang domisilinya jauh dari Sampit," kata Jakin.
HS mengaku sudah menjalani kegiatan terlarang ini selama tiga bulan. Dalam operasional yang dibantu dua karyawan, HS meraup untung sekitar Rp1 juta setiap harinya.
Untuk menangani kasus ini, penyidik akan berkoordinasi dengan Pertamina dan perangkat daerah yang menangani terkait energi. Penyidik juga masih mengembangkan kasus ini, diantaranya dengan menelusuri tempat HS membeli serbuk pengubah warna pertalite sehingga mirip premium tersebut.
"Dia dijerat dengan 54 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, sub Pasal 62 Jo Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun penjara dan denda Rp60 miliar," tegas Jakin.
Sementara itu HS mengaku mendapatkan pengetahuan cara mengubah warna pertalite menjadi mirip premium tersebut dari rekannya di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat.
Baca Juga:REKOMENDASI Link Download MP3 Youtube 2021: GO-MP3 Hingga YTMP3
"Sejauh ini tidak ada yang mengeluh terkait kualitas premium oplosan itu. Malah permintaannya tambah banyak karena sejak awal keluar pertalite, itu sudah dinilai kurang bagus. Makanya premium yang terus dicari," kata HS. (ANTARA)