Ketika Wapres Sudharmono Dicap 'Merah'

Cap 'merah' terhadap Sudharmono datang dari para perwira TNI.

Wakos Reza Gautama
Rabu, 02 Juni 2021 | 09:45 WIB
Ketika Wapres Sudharmono Dicap 'Merah'
Ilustrasi Wapres Sudharmono. Sudharmono pernah dicap 'merah'.

SuaraLampung.id - Sebanyak 51 pegawai KPK dilabeli 'merah' setelah tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Labeh merah ini diberikan karena para pegawai KPK karena dinilai tidak pancasilais dan tidak bisa dibina lagi. 

Di era Orde Baru, cap 'merah' biasanya diasosiasikan kepada orang golongan kiri atau komunis. Salah satu tokoh yang pernah dicap 'merah' di era Orde Baru adalah Wakil Presiden ke-5 RI Letjen (Purn) Sudharmono.

Cap 'merah' terhadap Sudharmono datang dari para perwira TNI. Salah satunya adalah Jenderal Sumitro, mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Cap 'merah' terhadap Sudharmono ini gencar dikemukakan jelang Sidang Umum MPR 1988. Nama Sudharmono kala itu menguat dicalonkan sebagai wakil presiden. 

Baca Juga:CEK FAKTA: Uya Kuya Menghipnotis Wapres Maruf Amin, Benarkah?

"Dia (Sudharmono) itu merah," kata Sumitro dikutip dari buku 'Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto" karya Salim Said. 

Sudharmono dituding sebagai mantan anggota laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pesindo diduga terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.

Untuk menggagalkan Sudharmono sebagai Wapres, Sumitro mendesak Jenderal Benny Moerdani, Pangkopkamtib, untuk bertindak. 

Benny Moerdani sependapat dengan Sumitro. Ia juga menolak Sudharmono sebagai wapres. Hal ini diungkapkan Ginandjar Kartasasmita. 

Ginanjar mengaku menyaksikan sendiri Benny Moerdani menolak Sudharmono sebagai wapres secara terbuka saat berpidato di hadapan para perwira senior TNI. 

Baca Juga:Peringatan Hari Lahir Pancasila, Wapres Maruf Amin Pakai Baju Melayu

Dalam pidatonya, Benny Moerdani menuding Sudharmono adalah agen rahasia komunis. Benny Moerdani lalu memerintahkan Fraksi ABRI untuk tidak mendukung pencalonan Sudharmono sebagai wapres. 

Sikap para perwira senior ABRI ini tidak sejalan dengan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto justru meminta Golkar mencalonkan Sudharmono sebagai wapres. Soeharto bahkan membantah bahwa Sudharmono adalah 'merah'.

Insiden Sidang Umum MPR 1988

Pada 10 Maret 1988, sidang umum MPR digelar. Sidang ini diadakan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden RI. Di sesi pemilhan presiden, Soeharto terpilih secara aklamasi. 

Di tengah sidang berlangsung, tiba-tiba saja Brigjen Saleh Ibrahim, anggota fraksi ABRI teriak interupsi. Ia lalu berlari ke depan ke arah mimbar tempat pimpinan MPR sambil membawa secarik kertas. 

Interupsi Brigjen Saleh Ibrahim dalam rangka untuk menggagalkan pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Suasana seketika gaduh. 

Benny Moerdani yang ikut sidang, langsung berdiri. Setengah berlari ia menuju ke depan mimbar didampingi Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dan Ketua Fraksi ABRI Mayjen Harsudiono Hartas.

Benny, Try dan Harsudiono mengajak Ibrahim Saleh untuk kembali ke tempat duduknya. Sambil berjalan menuju tempat duduknya, Ibrahim Saleh tak berhenti bicara. 

"Kalau soal presiden, semua sudah oke. Tapi kalau calon wapres, kedua-duanya masih diragukan. Kita harus cari yang benar, benar, dan benar..," teriak Ibrahim Saleh dikutip dari buku 'Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan' karya Julius Poor.

Saat itu ada dua nama calon wapres yaitu Sudharmono dan Naro, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah sidang, kepada wartawan Benny Moerdani mengatakan sikap Ibrahim Saleh bukanlah sikap resmi fraksi. 

Benny Moerdani sendiri mendukung Try Sutrisno untuk diajukan sebagai cawapres. Belakangan terungkap, sikap Ibrahim Saleh itu atas sepengetahuan Ketua Fraksi ABRI Harsudiono Hartas. Bahkan Benny Moerdani juga mendapat laporan mengenai skenario interupsi itu lewat perwira penghubung. 

Bahkan, tulis Salim Said dalam bukunya 'Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto', pencalonan Naro sebagai cawapres juga bagian dari skenario ABRI dalam mengganjal pencalonan Sudharmono sebagai wapres.

"Ternyata yang mendorong Naro itu Benny," ujar Sumitro dikutip dari buku 'Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto'.

Naro sendiri akhirnya mengundurkan diri sebagai cawapres setelah Fraksi Persatuan Pembangunan menghadap Presiden Soeharto. 

Tinggallah nama Sudharmono sebagai calon tunggal wapres. Secara otomatis, Sudharmono dilantik sebagai wakil presiden mendampingi Soeharto.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini