Scroll untuk membaca artikel
Wakos Reza Gautama
Sabtu, 03 September 2022 | 07:45 WIB
Ilustrasi tersangka Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi. Tidak ditahannya Putri Candrawathi menimbulkan kontroversi. [Suara.com/Alfian Winnato]

SuaraLampung.id - Tidak ditahannya Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, yang menjadi tersangka pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, menjadi perbincangan publik.

Penyidik tidak menahan Putri Candrawathi dengan alasan kemanusiaan karena masih memiliki anak berusia 1,5 tahun. 

Banyak pihak membandingkan kasus Putri Candrawathi dengan kasus-kasus lain yang tersangkanya seorang wanita memiliki anak kecil tetap dilakukan penahanan

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat hal ini terjadi karena kerangka hukum di Indonesia yang tidak akuntabel.

Baca Juga: Begini Ungkapan Permintaan Maaf Jefri Nichol Terkait Anak Sambo di Klub Malam

Menurut dia, aturan penahanan yang tertuang dalam KUHAP tidak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel.

Hal itu kata Erasmus, menimbulkan ketidakkonsistenan penyidik dalam menerapkan aturan penahanan terhadap tersangka.

Dalam kerangka hukum KUHAP saat ini, menurut Erasmus, banyak permasalahan dalam hukum penahanan, antara lain, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya bergantung pada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik.

"KUHAP harus direvisi guna pastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan. Salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata," ucapnya.

Kedua, lanjut dia, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk bagaimana secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat penahanan.

Baca Juga: Keluarga Tantang Komnas HAM Buktikan Tuduhan Brigadir J Lecehkan Istri Ferdy Sambo, Buka CCTV!

Pendekatan penyidik dalam menentukan penahanan ini, menurut dia, adalah dengan pendekatan kewenangan.

Dalam hal ini, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak perlu adanya uraian lagi.

"Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," kata Erasmus.

Permasalahan ketiga, KUHAP tidak mengakomodasi pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya.

Erasmus berpandangan seharusnya ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan nonrutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka/terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, dan lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan.

"Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak," kata Erasmus. (ANTARA)

Load More